Guzheng adalah alat petik yang populer pada masa dinasti Qing ketika menguasai China. Alat petik ini memiliki dua tangga sekaligus, pentatonik dan diatonik. Gu-zheng sesungguhnya tidak berbeda dengan kecapi tradisional yang ada di beberapa negara, misalnya Koto (Jepang), Daen-Tranh (Vietnam) dan Sitter (Indonesia/Jawa) dan Kecapi (Indonesia/Sunda). Namun Gu-zheng memiliki ciri khusus karena, baik bentuk, cara memainkan maupun tangga nada yang digunakan sama sekali berbeda dengan kecapi tradisional umumnya. Ciri-ciri itu adalah:
- Panjang +-2,2 meter
- Memiliki 12 dawai, bisa memainkan dua tangga nada sekaligus (pentatonis dan diatonis)
Hal ini tentunya juga berbeda dengan kecapi tradisional China yang hanya memiliki 13 dawai, panjangnya tidak lebih dari 1 meter, dan tangga nada yang dipakai hanya menggunakan pentatonik murni, atau sama dengan kunci D (2#) dalam nada diatonis. Maka, berdasarkan perbedaan ini, Gu-zheng atau Kecapi Kupu-Kupu kemudian dikenal sebagai instrumen kecapi China generasi terbaru.
Asal muasal nama Gu-zheng
Gu-zheng berasal dari kisah semasa dinasti Qing menjadi penguasa China. Dinasti yang juga melahirkan maha karya greatwall ini pada masa pemerintahannya menolak kebudayaan seperti agama, teknologi, budaya, pendidikan, tak terkecuali kesenian. Namun, manakala ia melihat kedua anaknya bernama Gu berebut sebuah instrumen kuno, raja pun menjadi marah dan menamai instrumen tersebut sebagai Zheng yang artinya berebut. Maka, ketika digabungkan dengan nama anaknya yang bernama Gu, instrumen yang menjadi identitas negeri tirai bambu ini pun kemudian dikenal dengan nama Gu-zheng.
Alat petik ini merupakan salah satu musik tertua di negeri China. Telah ada sejak dinasti Chin (221-206 SM). Namun, dari sejumlah dokumen, terlihat bahwa kecapi ini pernah berjaya di era dinasti Thang (618-907 M). Sejak dinasti Selatan Utara, selain tersebar di dalam negeri juga tersebar ke timur hingga Korea Kuno, Jepang Selatan, sampai Vietnam Utara mencapai Mongol. Meski seni kecapi China sudah berusia 2000 tahun lamanya, tapi sebagian besar perjalanan waktunya dipelihara dengan cara pewarisan ilmiah. Artinya, terbentuknya aliran seni (kecapi) di berbagai daerah, khususnya era dinasti Ming (1286-1644) dan Ching (1644-1911), pengembangannya adalah dari masyarakat sendiri. Yaitu, dilakukan secara komunal atau bersama-sama, dan untuk menghibur diri sendiri.
Seiring perjalanan waktu, eksistensi kecapi yang awalnya tidak diperhatikan itu sekarang sudah go-international. Ditandai dengan mulai dipakainya instrumen ini di beberapa negara baik Amerika, Eropa, Australia, Asia, tak terkecuali di Indonesia. Hal ini tentunya tidak lepas dari perkembangan Gu-zheng yang cukup fleksibel, bisa dimainkan untuk berbagai jenis musik, khususnya musik tradisi barat. Sehingga kecapi yang awalnya hanya memiliki 5 dawai, kemudian berkembang menjadi 12 dan 13 dawai ini bisa dimainkan oleh setiap orang.
Sesungguhnya, selain menggunakan 13 dawai ada juga Gu-zheng yang menggunakan 23 dan 25 dawai. Dan hal ini sudah dikembangkan sejak tahun 1970. Namun, karena (kemungkinan) agak sulit dimainkan, maka instrumen Gu-zheng 23 dan 25 dawai ini jarang dimainkan.(dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment